Senin, 18 Juni 2012

 TARIAN KOSMIS 

 1.www.parissweethome.com Siwa Nata Raja Dewa Tarian, Tarian Peleburan Oleh Adang Suprapto Arti kata Siwa Nata Raja : Siwa artinya manifestasi dari Tuhan, Nata artinya berkesenian dalam perspektif Hindu, Raja artinya maha besar atau maha kuasa, Siwa Nata Raja artinya berkesenian dalam rangka pemujaan kemahakuasaan Tuhan. Setiap Tahun di Bali kita disuguhkan dengan suatu perhelatan akbar berupa pesta kesenian Bali. Dan tak asing lagi bahwa di dalamnya akan ada suatu simbul dari pesta kesenian Bali yakni Siwa Nata Raja, selalu terpampang di atas candi bentar raksasa di Arda Candra, Taman Budaya Denpasar. Rupanya banyak diantara kita belum mengetahui apa itu Siwa Nata Raja yang menjadi simbul tersebut. Siwa Nata Raja dalam filosofi India dikatakan sebagai perwujudan dari Dewa Siwa sebagai penari kosmis. Tarian tersebut mengandung banyak makna, simbolisasi, filosofi, dan kreatifitas berkesenian, khususnya kesenian di Bali.

           Kesenian dalam perspektif Hindu di Bali mempunyai kedudukan yang sangat mendasar, karena tidak dapat dipisahkan dari religius masyarakat Hindu di Bali. Upacara yadnya yang diselenggarakan di pura-pura juga tidak lepas dari kesenian seperti seni suara, tari, karawitan, seni lukis, seni rupa, dan sastra. Candi-candi, pura-pura dan lain-lainnya dibangun sedemikian rupa sebagai ungkapan rasa estetika, etika, dan sikap religius dari para umat penganut hindu di Bali. Pregina atau penari dalam semangat ngayah atau bekerja tanpa pamrih mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti kehadapan Hyang Siwa yang pada hakekatnya adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan). Di dalamnya ada rasa bhakti dan pengabdian sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Para seniman ingin sekali menjadi satu dengan seni itu karena sesungguhnya tiap-tiap insan di dunia ini adalah percikan seni. Dalam artian adalah Siwa Nata Raja bersemayam dalam setiap insan di dunia ini. Dalam mitologinya, tarian-tarian diciptakan oleh Dewa Brahma,dan sebagai dewa tarian adalah Dewa Siwa dikenal dengan sebutan Siwa Nata Raja. Beliau memutar dunia ini dengan suatu gerakan-gerakan mistis yang disebut dengan mudra, yang memiliki kekuatan gaib.

Dimana setiap gerakan tangan dan gerakan tubuhya memiliki kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa. Namun didasari atas gerakan mudra tersebut, sehingga tarian tersebut memiliki kekuatan sekala dan niskala atau kekuatan nyata dan tidak nyata. Namun hanya beberapa saja dari gerakan mudra itu yang dapat dijumpai dalam tarian Bali. Namun demikian ciri khas tarian bali dan nilai artistic magisnya yang bersifat sekala dan niskala tetap kita jumpai, walaupun tidak sepenuhnya dalam bentuk mudra. Seniman Bali lebih banyak seniman karya, dan sedikit yang menjadi seniman filsafat. Sebagai seniman karya, seniman Bali mampu menghasilkan sebuah karya seni yang bagus, dan bahkan monumental. Namun tidak banyak yang dapat mengapresiasikan karyanya. Lain halnya dengan seniman filsafat, dimana seorang seniman lebih berorientasi pada pengertian dari karyanya. Walaupun seringkali karya tersebut kurang diminati oleh penikmatnya. Tetapi demikian seniman Bali sebagai seniman karya. Mereka akan merasa bangga apabila hasil karyanya dapat menghibur hati orang lain. Mereka tidak banyak mengejar filosofi dari karya seninya tersebut. Mungkin pula karena ketidakmengertian para pencipta tari Bali akan jenis dan arti dari gerakan mudra yang berasal dari tarian kosmis Dewa Siwa tersebut. Disamping itu yang namanya mudra di Bali sangatlah sakral, hanya boleh digunakan oleh para sulinggih yaitu orang suci umat Hindu. Bagi masyarakat Hindu Bali, konsep dan filosofi Siwa Nata Raja tidak saja perlu diketahui dan dipahami, tetapi juga dipakai sebagai landasan filsafat di dalam berkesenian. Hindu Bali yang Siwaistis, menempatkan Siwa sebagai Dewa tertinggi, Maha Kuasa, pencipta seni, dan sekaligus sebagai tujuan dari kreatifitas seni. Visualisasi popular dari Siwa adalah Lingga-Yoni. Bentuk antromorfik dari Siwa dapat digambarkan menjadi dua bentuk, yaitu pertama aspek ugra atau ghora artinya menyeramkan, kedua aspek somya artinya damai. Lingga-Yoni melahirkan aspek Siwa dan Sakti. Dari Siwa, segala bentuk seni di dunia ini berkembang, oleh karena itu Siwa dipuja oleh para seniman. Dewa Siwa yang pertamakali melahirkan seni tersebut. Sebagai pencipta tarian, Siwa berwujud Nrtyamurti. Siwa juga mengajarkan kesenian kepada Dewa-Dewa dan umat manusia. Siwa juga disebut Adi Guru atau guru pertama kesenian. Siwa juga sebagai guru yoga, musik, dan jnana (ilmu pengetahuan). Siwa dalam wujud Siwa Nata Raja adalah Siwa dalam postur menari. Gerakannya sangat indah, ritmis dan eksostis mistik yang menggetarkan siapa saja yang menyaksikannya. Gerakannya dalam ritmis tersebut sangat harmonis dan melahirkan keindahan. Gerakan dalam Siwa Nata Raja adalah juga merupakan simbolisasi dari Panca Aksara. Panca Aksara membentuk tubuh Siwa. Tangan yang memegang api adalah Na, kaki yang menindih raksasa adalah Ma, tangan yang memegang kendang adalah Si, tangan kanan dan kiri yang bergerak adalah Wa, tangan yang memperlihatkan abhaya mudra adalah Ya. Panca Aksara adalah kekuatan yang dapat menghapus noda dan dosa. Si Wa Ya Na Ma, adalah mantra. Si mencerminkan Tuhan, Wa adalah anugerah, Ya adalah jiwa, Na adalah kekuatan yang menutupi kecerdasan, Ma adalah egoisme yang membelenggu jiwa. Tarian Siwa melambangkan pergerakan dunia spirit. Dalam tarian tersebut, semua kekuatan jahat dan kegelapan menjadi sirna. Tujuan Siwa menari adalah untuk kesejahteraan dan keselamatan alam semesta, membebaskan roh dari belenggu mala.

           Siwa bukanlah sebagai penghancur tetapi sebagai regenerator (proses regenerasi). Siwa adalah sebagai manggala data atau pemberi kesucian, dan ananda data yakni sebagai pemberi kebahagiaan. Siwa menciptakan alam semesta dengan cara menari. Secara konseptual Siwa Nata Raja sebagai wujud nyata diterapkan dalam aktivitas keagamaan di Bali yang selanjutnya mengalir menjadi bentuk-bentuk kesenian. Gerakan tangan atau mudra tersebut kemudian berkembang menjadi gerakan-gerakan anggota badan. Pada upacara yadnya terdengar weda mantra sang sulinggih, suara genta, kidung-kekawin atau nyanyian sakral, gamelan atau musik, tarian, banten atau sesajen yang ditata indah pada dasarnya perwujudan rasa seni yang dipersembahkan kepada Tuhan. Salah satu dari pertunjukan seni dalam rangka pemujaan kehadapan Dewa Siwa adalah pertunjukan seni Wayang Sapu Leger yaitu suatu paduan yang harmonis antara seni pertunjukan dengan filsafat ketuhanan. Siwa Nata Raja adalah upaya pencarian kebenaran, kesucian, keharmonisan, melalui berkesenian (satyam, siwam, sundaram). Berkesenian di dalam kaitannya dengan Hindu di Bali adalah sebuah langkah pemujaan untuk menyatu dengan pencipta seni itu sendiri yakni Dewa Siwa. Berkesenian adalah sebuah upaya mencari kepuasan bhatin, mencari kesenangan, mencari keseimbangan, mencari pembebasan dalam penyatuan dengan sang pencipta, yakni sumber dari seni itu sendiri yakni Sang Hyang Siwa.

             2.wiet.multiply.com Tarian Kosmis Shiva Sep 10, '08 3:44 PM untuk semuanya Ini adalah salah satu tulisan favorit saya, yang nulis pak teddy, disumbangkan oleh beliau dalam sebuah posting di suatu milist. Entah udah berapa kali saya baca tulisan ini berulang-ulang dan gak bosan-bosan. Mohon ijin ya pak Teddy, sebagai sesama cah-ungaran mudah2 an di kasih ijin. Menari mungkin suatu salah satu bentuk seni yang paling awal yang dikenal manusia. Seni yang terdahulu, paling kuno, paling otentik dibanding seni-seni lain. Sang penari harus menyatu dengan tarian, dengan gerak agar tarian itu bisa hadir dan menjadi hidup. Asal-muasal tarian bermula dari Shiva. Shiva adalah raja dari tarian, the king of dance. Shiva dijuluki pula sebagai Nataraja. Dialah yang mengajarkan tarian kepada seluruh ciptaan. Dialah inspirasi setiap gerakan yang ada di alam semesta. Alkisah jika hitungan waktu kalpa sudah habis, maka Shiva akan mempersembahkan tarian untuk kosmos dan semesta, sebuah tarian yang dinamai Tandava. Sebutan yang indah. Terdengar lembut dan feminin. Inilah salah satu tarian Shiva yang paling masyhur dalam mitologi Hindu. Dalam pose tarian ini Shiva memiliki empat tangan dengan keempatnya berada dalam posisi yang berbeda. Sepasang tangan kiri dan kanan terentang lebar. Tangan kanan memegang alat musik berbentuk tabung yang menyiratkan dipecahkannya keheningan dengan munculnya "suara penciptaan". Tangan kiri memegang api yang bersifat menghancurkan. Tangan kanan yang lain dalam posisi memberkati, sedangkan tangan kiri yang satu lagi menyilang dibadan menunjuk pada kaki kiri yang diangkat, sebagai simbol dari kebangkitan kesadaran. Kaki kanan berdiri kokoh di atas berhala kebodohan yang berbentuk iblis kerdil. Pada metafor ini, jika Shiva melakukan tarian kosmis ini maka dia akan melakukan penghancuran terhadap dunia seisinya. Shiva mempersembahkan tarian ini kepada dunia sebagai permulaan siklus baru, siklus pembaharuan, siklus penghancuran dan penciptaan. Untuk melakukan proses re-kreasi terhadap dunialah maka tarian ini harus dilakukan Shiva. Menghancurkan segala bentuk ciptaan yang ada sebelumnya,. Dengan tujuan untuk mengembalikan maya kepada atma. Menghadirkan realitas diatas ilusi. Mengembalikan yang sejati diatas kepalsuan. Mengembalikan hati nurani diatas hawa nafsu. Tidak ada yang baru diatas dunia. Setiap bentuk-bentuk harus dihancurkan untuk menghasilkan bentuk-bentuk "baru" lagi. Segala sesuatu tercipta dari debu. Hancurkan, sebab segala penciptaan diawali dengan kehancuran. Penulis buku The Tao of Physics, Fritjof Capra memparalelkan tarian kosmis Shiva dengan ritme penghancuran dan penciptaan yang juga terjadi pada tingkatan materi inorganik. Menurutnya dalam ranah fisika modern tarian Shiva adalah serupa dengan tarian dari partikel subatomik. Lalu apakah jangka kalpa telah habis? Apakah sudah saatnya Shiva datang kembali untuk menari? Mungkin tak ada yang tahu. Dia akan menari di semesta makrokosmos dan mikrokosmos. Panggungnya adalah dunia luar: alam semesta dan seisinya serta dunia dalam: di dalam hati setiap manusia. Dia akan menari dengan penuh semangat dan kegembiraan untuk menghancurkan semesta kebodohan dan kelekatan yang membuat jiwa ini tidak bebas, tidak merdeka. Jika Engkau memang akan datang, selamat datang wahai Shiva! Coba tengok keadaan sekeliling. Keadaan alam, keadaan politik, kondisi sosial jaman sekarang. Atau bahkan kondisi dalam hati sendiri ?? Mungkin emang sudah lewat waktu hitungan kalpa dan Shiva sedang bersiap untuk ber-Tandava

                 3. suluttenggo.wordpress.com The Tao of Physic : Tarian Agung Energi Kosmis Posted on 23 Maret 2012 by suluttenggo Penggalan kalimat Fritjof Capra (create stc) Suluttenggo – seorang ilmuan terkenal di bidang ilmu fisika modern, Fritjop Capra, menuliskan penghayatnnya atas kejadian dalam buku,” The Tao of Physic,” yang isinya seperti di bawah ini : “Ketika Saya duduk di tepi Samudera pada suatu senja di musim panas, memandang gelombang yang bergulung-gulung dan merasakan irama pernafasan saya, tiba-tiba saya menjadi sadar bahwa diri saya dan seluruh alam sekitar sedang terlibat dalam suatu tarian agung kosmis. Sebagai ahli fisika, saya tahu bahwa pasir, batu dan karang, air dan udara sekeliling, tersusun dari molekul-molekul dan debu-debu yang bergetar yang di dalamnya terdiri atas pertikel-pertikel kecil yang saling berinteraksi dalam irama saling membentuk dan menghancurkan satu dengan lainnya. Saya juga tahu bahwa atmosfir bumi tidak henti-hentinya dibombardir oleh percikan partikel sinar kosmis dengan energi tinggi yang menyebabkan tabrakan-tabrakan berangkai pada waktu menerobos ke udara. semua itu tidak asing lagi bagi saya dalam penelitian energi tinggi (high energy physics) tetapi sampai saat ini, saya hanya mengalami melalui grafik, diagram, dan teori-teori matematika. Baru setelah pengalaman saya di atas, saya melihat bahwa telah terjadi air terjun energi yang datang dari angkasa luar, di mana partikel-partikel dalam suatu irama seperti pulsa saling menciptakan dan menghancurkan. Saya tidak saja melihat atom-atom tersebut, melainkan juga atom-atom dalam tubuh saya yang sedang ikut berpartipasipasi dalam tarian agung energi kosmis. Saya sekarang mendengar suaranya dan sekarang ini saya tahu bahwa semua itu adalah tarian Syiwa, dewa penari yang dipuja oleh penganut kepercayaan Hindu. Saya telah mengalami pendidikan yang lama di bidang fisika teoritikal dan telah melakukan penelitian. Pada asaat bersamaan telah tmbuh minat saya pada ilmu kebatinan dari timur dan melihat kesamaannya dengan fisika modern. Secara khusus saya sangat suka dengan teka-teki (koan), yang dipakai dalam Zen, yang mengingatkan saya kepada teka-teki dalam teori kuantum. Sekarang menjadi jelas bagi saya, mengapa dalam 20 tahun terakhir ini telah tumbuh minat yang besar di dunia barat terhadap kebatinan di dunia timur, yang sebenarnya merupakan usaha untuk mengembalikan keadaan tidak seeimbang di masyarakat barat yang tampak menyolok, dalam pikiran dan perasaan, sistim nilai dan tindak tandu, struktur sosial dan politik. Saya telah menemukan terminologi yang tepat, yaitu YIN dan YANG untuk menguraikan ketimpangan yang terjadi. Budaya kita terlampau bersifat jantan (maskulin), dan YANG telah mengabaikan pasangan pelengkapnya yaitu betina (feminim) atau YIN. Kita lebih mengutamakan pengakuan diri ketimbang integrasi, analisis ketimbang sintesa, pengetahuan rasional ketimbang kebijakan intuitif, ilmu pengetahuan ketimbang kebatinan, persaingan ketimbang kerjasama, ekspansi ketimbang pemeliharaan dan lainnya. Pertumbuhan yang sepihak ini telah mencapai titik lampu kuning berupa krisis sosial, ekologi dan moral. Karenanya dengan meminjam istilah Cina, dapat dikatakan bahwa unsur YANG telah mencapai klimaksnya dan kembali ke arah YIN. Dua puluh tahun belakangan ini telah melahirkan serangkaian gerakan yang pola dasarnya menuju ke arah yang sama. Orang mulai menyadari pentingnya pelestarian lingkungan (ekologi), semakin menguatkan kepercayaan kepada ilmu kebatinan. Gerakan kesadaran kaum feminim, penemuan kembali pendekatan holistik di bidang pengobatan. Semua ini merupakan arus balik terhadap penekanan-penekanan, berlebihan atas rasionalisme, sikap maskulin yang dominan dan mencoba mendapatkan keseimbangannya sebagai mahluk alamiah. Transformasi budaya ini tak lain adalah suatu usaha utuk mencari harmoni ilmu fisika modern dan ilmu kebatinan timur dan mengarah pada lahirnya pandangan nilai-nilai, persepsi-persepsi dan pemikiran-pemikiran baru. Dari sudut inilah harus dipandang bahwa hubungan antara fisika modern dan ilmu kebatinan tidak hanya menarik, melainkan juga sangat penting, karena selama ini hasil-hasil yang dicapai ilmu fisika modern pada akhirnya hanya akan menghadapkan kita pada dua pilihan, yaitu : Budha atau bom, dan terserah pada kita sebagai ilmuan untuk memilih yang mana.” Fritjof Capra, Ilmuan terkenal di bidang Fisika Modern.

                  
                         4. http://dasanrangarajan.multiply.com/journal/item/112/MAKNA_NATARAJA MAKNA NATARAJA Jan 10, '10 4:11 AM untuk semuanya Nataraja, Raja Para Penari atau Sang Raja Yang Menari, adalah salah satu Rupa dari Hyang Siva yang paling terkenal. Beliau dipuja di kompleks pura agung Chidambaram, Cuddalore, India Selatan. Nataraja mempertunjukkan tarian kosmis-Nya dengan penuh kebahagiaan di Chidambaram, disaksikan oleh para rishi seperti Patanjali dan Vyaghrapadar, serta para deva yang dipimpin oleh Vishnu Sendiri. Pura Chidambaram juga termashyur dengan sesuatu yang disebut Rahasyam, Rahasia dari Chidambaram, yang sesungguhnya hanyalah berupa ruangan kosong, melambangkan kesadaran tertinggi yang paling murni, dimana Chidambaram sendiri berarti Angkasa Kesadaran. Hanyalah dalam kesadaran murni yang berada di lubuk hatinya seorang pemuja dapat mengalami Tuhan secara langsung. Jadi di Chidambaram, simbol ruangan kosong ini mewakili berkembangnya kesadaran murni, yang harus dicapai oleh para Bhakta di dalam hatinya. Nataraja yang menari di Chidambaram, adalah Tuhan yang direalisasikan oleh penyembah-Nya dalam hatinya yang telah disucikan. Tarian Nataraja dikenal sebagai Tandava-nrutya atau sering juga disebut dengan Tarian Kosmis. Tarian ini merupakan gerakan berirama dari alam semesta. Sesungguhnya setiap planet dan setiap atom yang terkecil melakukan gerakan berirama yang sama. Ini bukanlah gerakan yang kacau, tetapi sebuah gerakan yang teratur, diarahkan dan dikendalikan oleh suatu prinsip cerdas yang tak terlihat. Bahkan saat ini para ilmuwan sudah mulai meyakini bahwa alam semesta merupakan suatu tatanan teratur yang cerdas. Segala sesuatunya terkendali bukan terjadi secara kebetulan. Sebuah buku baru-baru ini yang berjudul “The Intelligent Universe” oleh Sir Fred Hoyle, F.R.S. dari Universitas Cambridge menyatakan pandangan tersebut.
                                 

                       Dengan demikian sesungguhnya alam semesta ini tidaklah bekerja atau berjalan hanya karena hukum fisika atau kimia belaka. Sehingga kita perlu mengetahui siapakah yang berada di balik keteraturan alam semesta ini. Hindu, khususnya Saivisme, mengungkapkan pemahaman tersebut melalui konsep Nataraja. Rishi Thirumular yang hidup lebih dari seribu tahun yang lampau, dalam bukunya yaitu Thirumanthiram, mengatakan bahwa tarian Sivalah yang menggerakkan setiap partikel di alam semesta ini. Sehingga dengan demikian Sang Rishi sesungguhnya juga mengetahui bahwa alam semesta yang teratur ini dikendalikan oleh suatu prinsip perencana yang cerdas, yaitu Siva. Sang Rishi dalam pikiran supra-kesadarannya sudah menguak misteri alam semesta yang baru saja mulai ditemukan dan dikaji oleh para ilmuwan modern beberapa tahun belakangan ini. Sedangkan konsep Intelligent Universe dan Intelligent Design sejak lama telah dihadirkan dalam keyakinan Hindu Saivisme sebagai Nataraja. Bentuk atau citra dari Nataraja memiliki empat tangan. Pada tangan kanan atas, Beliau memegang genderang, udukkai atau damaru. Ini merupakan simbol suara, suara penciptaan. Veda menyatakan bahwa seluruh ciptaan ini berasal dari suara. Bahkan para ilmuwan modern sendiri mengakui bahwa ada suara ledakan ketika alam semesta tercipta, yang kita kenal sebagai teori Big Bang. Ini merupakan awal dari evolusi atau srishti. Tangan kiri atas Nataraja memegang kobaran api, simbol dari peleburan atau samhara, ketika seluruh alam semesta kembali ke asalnya. Tangan kanan bawah-Nya menunjukkan tanda jangan takut, meyakinkan para pemuja-Nya bahwa mereka yang berlindung kepada-Nya akan dibebaskan dari segala bahaya. Ini merupakan simbul pemeliharaan. Tangan kiri bawah Nataraja menunjuk ke arah kaki-Nya yang terangkat, mengamanatkan kepada umat-Nya agar berlindung dan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi dalam Saiva-agama, Hyang Siva merupakan Pengendali Tertinggi Alam Semesta, pencipta, pemelihara, dan pelebur yang tunggal. Inilah yang diungkapkan oleh bentuk Nataraja. Pada bagian bawah Nataraja terdapat seorang raksasa cebol tertelungkup, yang diremukkan oleh injakan kaki kanan-Nya. Makhluk ini melambangkan hancurnya ego dan sifat-sifat jahat makhluk hidup. Di bagian belakang Nataraja terdapat prabha yang terdiri dari 36 kobaran cahaya. Ini melambangkan 36 tattva atau tingkat-tingkat evolusi kesadaran roh menuju realisasi kesadaran kosmik yang berbuah Moksha atau pembebasan. Anting-anting yang digunakan oleh Nataraja ada dua jenis, yaitu anting-anting laki-laki dan perempuan, melambangkan kesatuan antara Siva dengan Sakti, Sumber Energi dan Energinya. Naga atau ular kobra yang melingkar di leher dan tangan-Nya menyatakan bahwa Siva tidak terpengaruh oleh kehadiran kekuatan jahat, yang sama sekali tidak bisa menimbulkan akibat apapun pada Tarian-Nya yang tak terbatas. Lingkaran kobra juga melambangkan bangkitnya Kundalini-sakti. Semua ini memusnahkan ketakutan dari hati para Bhakta-Nya, yang senantiasa terlindung dari segala bentuk kejahatan. Tidak ada setan atau iblis yang bisa mempengaruhi penyembah Siva, karena semua ini tidak mampu memberi pengaruh apa-apa. Siva tidak memiliki rival atau saingan, karena semua kekuatan berada di dalam diri-Nya. Chidambaram, Angkasa Kesadaran Murni, Pura Siva yang terbesar di dunia, berusia ribuan tahun. Tempat perziarahan utama bagi para pemuja Siva Menurut Ananda Coomaraswamy, makna penting tarian Siva ini ada tiga. Pertama, tarian ini merupakan citra dari aktivitas ritmik-Nya sebagai sumber dari segala gerakan di alam semesta. Kedua, tujuan dari tarian ini adalah untuk membebaskan roh-roh yang tak terhitung jumlahnya dari selubung khayalan. Ketiga, tempat dari berlangsungnya tarian ini adalah di Chidambaram, pusat kesadaran termurni alam semesta, yang tiada lain adalah hati para Bhakta. Kesimpulannya, tarian ini merupakan sintesis dari sains, agama, dan seni. Inilah sebuah puisi dari ilmu pengetahuan yang paling sejati. Dalam dunia modern ini memang benar sains dan teknologi telah membantu umat manusia dalam memajukan pertanian, pendidikan, pelayanan kesehatan, transportasi, komunikasi, sumber energi, dan berbagai kemudahan material lainnya. Tetapi juga benar bahwa sains dan teknologi juga membawa ancaman yang nyata bagi keberadaan umat manusia, seperti adanya bahaya bencana nuklir. Kenapa kita harus dihadapkan pada kemungkinan timbulnya bencana-bencana seperti itu? Tak lain adalah karena kita mengabaikan pelaksanaan dharma, yang dapat menekan sifat kebinatangan dalam diri manusia. Sains dan agama tidaklah bertentangan, melainkan saling melengkapi bagi para pencari kebenaran. Keserasian antara sains dan agama merupakan nilai yang dipahami oleh masyarakat Hindu sejak dahulu kala. Dalam Hindu, sains dan agama tidak dipisahkan atau saling dipertentangkan. Sains mencari kebenaran melalui alam semesta duniawi atau eksternal, sehingga temuan-temuan sains berada dalam persepsi indera-indera kita. Agama, di sisi lain merupakan penyelaman terhadap sifat batiniah manusia, pikiran dan roh. Sains memusatkan perhatiannya pada dunia objektif sedangkan agama berurusan dengan dunia subjektif. Dengan sains kita mengenal alam semesta yang secara jasmaniah berada di luar diri kita, sehingga kita dapat hidup dengan baik di dunia ini. Tetapi melalui spiritualitas kita membuat hidup menjadi bermakna, dengan mengenal diri sejati kita dan Tuhan sebagai sumber semua keberadaan ini. Metodologi yang kita gunakan untuk menginvestigasi zat-zat duniawi yang kasar sama sekali tidak cukup dan tidak mampu mencapai roh dan Tuhan yang begitu halus. Proses investigasi ilmiah dapat dilakukan di sekolah dan universitas biasa, sedangkan hanya dengan doa, pemujaan, konsentrasi dan meditasi dalam keheningan kita dapat merasakan pengalaman rohani. Pengalaman rohani dan ekstasi relijius merupakan makanan yang menyokong kesadaran. Kita tidak bisa melupakan kebutuhan rohani ini dan hanya memikirkan pemenuhan kebutuhan badan saja. Chit-sabha, Aula Kesadaran, tempat berlangsungnya tarian kosmis Siva di Chidambaram. Berada di bawah atap bergenteng emas padat. Bersama dengan pengembangan sains demi menuju kehidupan duniawi yang lebih baik, kita juga harus meluangkan waktu lebih banyak lagi untuk kontemplasi dan meditasi. Nataraja merupakan salah satu dari berbagai Rupa-Nya yang tak terbatas. Rupa ini menyatakan secara sempurna keserasian antara alam semesta, makhluk hidup, dan Tuhan. Ketika kita memuja Rupa Nataraja, kita menyadari hakikat sempurna ilmu pengetahuan, dimana sains, spiritualitas, dan seni menyatu bersama-sama dalam keselarasan tertinggi. Ketika umat Hindu bermeditasi pada Nataraja yang menari di Chidambaram, dia memusatkan kehidupannya untuk mewujudkan kesadaran murni di hatinya, agar Tuhan bersemayam di sana, dan memancarkan energi serta cintakasih-Nya ke semua makhluk dan seluruh alam semesta.

           
          5. http://canangsari.net/2012/02/tarian-brahman/ Tarian Brahman February 9, 2012 by Mangku Suro Filed under: 4. Menari Bersama Brahman Semua gerakan berawal dari Brahman dan berakhir pada Brahman. Keseluruhan dari alam semesta terlibat dalam pusaran aliran dari perubahan dan aktivitas. Ini adalah tarian Brahman. Kita semua menari bersama Brahman, dan Dia bersama kita. Jadi, kita adalah tarian Brahman. Dunia terlihat seperti tersebut dengan sebenar-benarnya hanya ketika kita melihat tarian kosmis Brahman. Segala hal di alam semesta, semua yang kita lihat, dengar dan bayangkan, adalah pergerakan. Galaksi-galaksi melayang tinggi dalam pergerakan; pusaran atom-atom dalam pergerakan. Semua pergerakan adalah tarian Brahman. Bila kita berusaha melawan pergerakan ini dan berpikir semestinya selain dari ini, kita dengan berat hati menari bersama Brahman. Kita dengan keras kepala menentang, menganggap diri kita terpisah, mengkritisi proses dan pergerakan alami di sekeliling kita. Dengan pemahaman kebenaran abadi tersebut kita bawa semua bidang pikiran kita ke dalam pengetahuan bagaimana cara menerima apa adanya dan tidak mengharapkan menjadi yang sebaliknya. Bilamana itu terjadi, kita mulai secara sadar untuk menari bersama Brahman, bergerak dengan aliran suci itu mengelilingi kita, menerima pujian dan cacian, kegembiraan dan dukacita, kemakmuran dan kesulitan dalam ketenangan hati, buah dari pemahaman. Kita kemudian dengan anggun, tak kenal menyerah, menari bersama Brahman. Veda menyatakan, “Jiwa kosmis sesungguhnya adalah keseluruhan alam semesta, sumber abadi semua kreasi, semua aksi, semua meditasi. Siapapun menemukan Dia, tersembunyi jauh di sisi dalam, memotong ikatan kebodohan, tenang selama hidupnya di dunia.” Semua dinikmati apa adanya, sebagai Tarian Brahman. Sumber inspirasi : Satguru Sivaya Subramuniyaswami (1927-2001)

                 6. http://okanila.brinkster.net/mediaFull.asp?ID=402 Sains Vedik, Sintesis Sains, dan Agama Renungan Nyepi dan Saraswati : Oleh Raka Santeri PRESENTASI Meera Nanda yang diterjemahkan dan ditulis sebagai artikel berjudul Sains Vedik dan Nasionalisme Hindu: Gugatan terhadap Upaya Sintesis Agama dan Sains (Kompas, 7/3/2003), amat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Lebih-lebih saat umat Hindu memasuki tahun baru Saka 1925 (Hari Raya Nyepi) 2 April, dan Hari Ilmu Pengetahun (Saraswati) tanggal 5 April 2003. Dalam artikel itu Meera Nanda menyimpulkan dua hal, yaitu "bahaya sains Vedik", dan, lebih umum, "bahaya upaya rekonsiliasi sains dan agama yang terlalu terburu-buru". Menurut dia, "Di balik topeng sains Vedik, ada upaya habis-habisan melawan Pencerahan dan Reformasi di India saat ini. Anti-Pencerahan ini menyalakan chauvinisme Hindu yang tak hanya menyebabkan bencana besar bagi agama minoritas, tetapi juga berbahaya bagi mayoritas Hindu. Sebabnya di balik topeng otentisitas budaya, cara pikir magis dan takhayul dipromosikan sebagai sains. Selama cara pikir ini bertahan di masyarakat India, mereka akan tetap tertawan oleh nabi-nabi palsu. Dialog antara agama dan sains telah lama diwacanakan dan semakin intensif dengan berkembangnya pemahaman holistik terhadap seluruh aspek kehidupan. Pemisahan kaku antara sains sebagai "ruang publik" dan agama sebagai "ruang privat", semakin mencair. Seperti pesan Paus yang dikutip Louis Leahy (1997): "Sains dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan takhayul; agama dapat memurnikan sains dari pemujaan dan kemutlakan palsu. Keduanya dapat menarik satu sama lain kepada suatu dunia lebih luas, dunia di mana keduanya dapat berkembang." Maka kecenderungan mengasosiasikan ajaran agama ke wilayah sains atau sebaliknya, bisa saja menjadi kecenderungan umum di kalangan penghayat agama. Namun, mencocok-cocokkan, mengadakan rekonsiliasi antara ajaran agama dengan ilmu pengetahuan (sains), tidaklah tepat. Kaum kreasionis yang segera kehilangan pijakannya setelah muncul teori evolusi Darwin (Encyclopedia Americana, 1995), merupakan contoh. Meskipun teori penciptaan Hindu mungkin tampak lebih rasional, tetapi tetap harus ada batas tegas antara agama dan sains. Pandangan postmodern memang membantu pendekatan agama dengan sains. Sebutlah misalnya pengalaman Fritjof Capra yang dia tulis dalam kata pengantar bukunya Tao of Physics. Ketika dia sedang duduk di tepi samudera memperhatikan ombak bergulung-gulung, dia sekonyong-konyong tersadar akan segenap lingkungannya yang terikat dalam sebuah tarian kosmis raksasa. "Sebagai fisikawan, saya mengetahui bahwa pasir, batuan, air, dan udara di sekitar saya tercipta dari molekul dan atom yang bergetar dan bahwa molekul dan atom terdiri dari partikel yang saling berinteraksi satu sama lain dengan cara mencipta dan menghancurkan partikel lain. Saya juga memahami atmosfer Bumi terus menerus dibombardir guyuran "sinar kosmis", partikel berenergi tinggi yang mengalami tumbukan berkali-kali ketika menembus udara", tulis dia. Dari riset fisika energi tinggi, Capra sangat mengakrabi gejala alam itu. Tetapi, ketika itu dia merasakan sesuatu yang istimewa. "Saya "menyaksikan" guyuran air terjun energi turun dari angkasa terluar yang di dalamnya partikel terbentuk dan hancur dalam getaran ritmis; saya "menyaksikan" atom dari elemen itu dan atom dari tubuh saya sendiri turut serta dalam tarian kosmis energi ini. Saya merasakan iramanya dan "mendengarkan" suaranya, dan pada saat itu saya memahami ini adalah Tarian Shiva, Dewa Para Penari yang dipuja puji penganut agama Hindu." Jika Capra yang sering dikelompokkan ke dalam tradisi fisika berwawasan holistik dalam istilah "postmodernisme" mengasosiasikan "tarian" kosmis itu sebagai tarian Shiva, tidaklah berarti filosofi "penciptaan dan pemusnahan" yang terkandung dalam tarian Shiva sama persis dengan terbentuk dan hancurnya partikel-partikel dalam alam semesta. Filsafat yang terkandung dalam tarian Shiva itu harus mendorong umat Hindu lebih menguasai ilmu pengetahuan dengan metode dan sistem ilmu pengetahuan itu sendiri. Bukan sebaliknya berpuas diri dalam pandangan sempit, sambil mengatakan bahwa temuan fisika itu telah diramalkan sebelumnya dalam Veda. PENDAPAT yang mendudukkan agama di atas sains memang dapat menjadi bahaya bagi kesadaran masyarakat, jika dilakukan berlebihan dan terburu-buru. Apalagi dengan dukungan alat kekuasaan pemerintahan yang sah, seperti yang konon dilakukan partai berkuasa Bharatiya Janata Party (BJP) dengan pengukuhan Hidutva atau ke-Hinduan-nya. Sebaliknya pandangan sains yang memonopoli kebenaran seolah-olah menjadi miliknya sendiri, juga tidak kurang bahayanya. Namun, benarkah di balik topeng sains Vedik itu ada upaya habis-habisan melawan Pencerahan dan Reformasi? Mungkihkah bangsa (India) yang berabad-abad telah membangun tradisi spiritual dan keilmuannya, jatuh tanpa daya ke dalam genggaman chauvinisme yang menentang seluruh kemuliaan inti ajaran agama Hindu sendiri? Sepanjang yang dapat saya baca dan hayati, tradisi beragama di India dan tradisi agama Hindu umumnya, tidaklah mengarah kepada "Anti-Pencerahan" dan pandangan chauvinistik. Malah dari sudut pandang filosofis mungkin Hindulah satu-satunya agama yang paling toleran dengan perubahan dan pencerahan. Meera Nanda sendiri mengemukakan, "Dialog antara iman dan akal, antara idealisme dan naturalisme, bukanlah hal baru dalam agama Hindu". Veda juga sangat menganjurkan pencerahan, karena "Pencerahan merupakan jalan menuju kepada Tuhan Yang Maha Esa" dan yang dimaksud dengan pencerahan di sini bukan hanya pencerahan rohani, tetapi juga "Pencerahan (yang) diperoleh melalui intelek" (Titib, 1996). Kerinduan pada pencerahan itu pula yang menyebabkan sistem filsafat Hindu tidak seluruhnya mengakui otoritas Veda, tetapi ada juga sebagian yang tidak mengakuinya. Ucapan Upanisad yang terkenal adalah: "Follow that advice of mine which is good and helpful for your progress, and neglect even my own advice which is not" (Tigunait, 1953). Dalam latar belakang seperti itulah Siddhartha Gautama muncul dan segera dapat diterima masyarakat Hindu pada abad ke-6 SM. Meskipun lahir dan meninggal sebagai Hindu, ajarannya kemudian dikukuhkan dan berkembang menjadi agama Buddha, agama yang pernah menjadi koreksi total bagi Hindu. Contoh lain terdapat dalam pelaksanaan Veda itu sendiri. Veda artinya pengetahuan. Kitab suci Hindu ini dilaksanakan dengan beragam pilihan berjenjang melalui empat tingkatan, yaitu: Samhita, tingkat pengucapan mantra-mantra; Brahmana, tingkat pelengkapan mantra-mantra dengan upacara; Aranyaka, tingkat pengendalian pikiran yang mengarah kepada pencapaian Brahman (Tuhan); dan Upanisad, yaitu tingkat pencerahan diri secara penuh mencapai kelepasan (Moksha). Sari-sari Upanisad yang dikenal sebagai puncak pengetahuan tentang Veda, disebut pula dengan nama Vedanta, atau bagian akhir (kesimpulan) Veda. Ada pendapat mengatakan agama Hindu sulit dipelajari, tetapi sangat mudah dilaksanakan. Itulah manifestasi kebhinnekaan dalam melaksanakan ajaran agama menurut Hindu, meskipun mungkin bagi pemeluk non-Hindu tampak agak aneh. Tigunait menyebut apa yang dikenal sebagai "agama" oleh masyarakat Barat, di India hanyalah berarti sekumpulan aturan sosial yang meliputi etika, tradisi, dan ritual. Kehidupan yang menyangkut dunia luar (keluarga, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kemanusiaan) diatur agama. Sementara kehidupan menyangkut "dunia dalam" dipelajari dan dibimbing melalui filsafat yang sepenuhnya bersifat universal. "Tidak ada tembok pemisah antara filsafat dan agama, karena keduanya jalin menjalin". Berdasarkan penjelasan itu, dapat disimpulkan agama Hindu memang mengandung unsur pengetahuan, ilmu, dan filsafat, tetapi mensintesiskan agama dengan sains tetaplah tidak tepat. Raka Santeri Wartawan, tinggal di Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar